Mungkin
Anda telah mendengar orang-orang yang membahas cara membaptis yang
tepat.“Jika seseorang dibaptis sampai ke lehernya, apakah ia telah
benar-benar dibaptis?” tanya salah seorang yang sedang
berbincang-bincang itu.
“Tidak, tentu saja tidak,“ jawab yang lain.”Jika ia dibaptis sampai ke dahinya, apakah itu baptisan?”
“Tidak,“ kata orang itu lagi dengan tegas.
“Nah,“ kata orang tersebut, “itu membuktikan bahwa air yang di atas kepala itulah yang betul-betul penting!“
Baptisan air
telah menjadi sumber kontroversi di kalangan Kristen sejak gereja mulai
berdiri. Dalam Kisah Para Rasul baptisan air dikaitkan secara erat
dengan PENGALAMAN PERTOBATAN. “Bertobatlah dan hendaklah kamu
masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk
pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus.“ (Kisah
2:38). Ayat-ayat seperti ini telah menimbulkan berbagai perbedaan
pendapat yang masih terus diperdebatkan sekarang ini.
Tiga pertanyaan kerap kali diajukan:
(1) Haruskah baptisan air dibatasi untuk orang-orang dewasa yang secara pribadi telah percaya kepada Kristus?
(2) Apakah baptisan itu suatu sarana kasih karunia yang membuat seseorang dilahirkan kembali?
(3) Apakah yang menjadi pola baptisan-yaitu, haruskah kita diselamkan?
Munculnya Pembaptisan Anak Kecil
Dalam beberapa
kasus teks Alkitab dengan gamblang menyatakan bahwa baptisan diberikan
kepada mereka yang menanggapi berita Injil. Misalnya, dalam kasus kepala
penjara di Filipi, kita membaca, “Lalu mereka memberitakan
firman Tuhan kepadanya dan kepada semua orang yang ada di rumahnya.“
(Kisah Para Rasul 16:32). Ini menjelaskan mengapa seisi rumahnya
dapat/boleh dibaptis—mereka semua telah cukup usia untuk mendengarkan
Firman. Pembaptisan yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak
dikategorikan seperti ini, bertumpu pada alasan-alasan teologi yang
lain.
Dalam PB,
Baptisan segera menyusul setelah IMAN PRIBADI kepada Kristus digunakan.
Setahu kami, dalam gereja mula-mula, TAK SATUPUN orang percaya yang
tidak dibaptis. Semua orang Percaya DIBAPTIS sebagai suatu kesaksian
terhadap iman mereka.
Jika demikian, darimanakah munculnya pembaptisan yang bukan seperti hal yang disebutkan ini? Kita
mungkin berharap akan menemukan berbagai rujukan yang berkenaan
dengannya dalam tulisan-tulisan para bapak gereja, yakni, mereka yang
mengenal para rasul. Tidak demikian. Misalnya, Ireneus, yang mengenal
Polikarpus, seorang murid rasul Yohanes, menuliskan suatu risalah
teologi yang terdiri atas 5 Jilid termasuk tentang baptisan.
Dalam Surat Barnabas (sekitar tahun 120-130), suatu pasal yang singkat disediakan untuk membicarakan Baptisan Air, tetapi Hanya Baptisan Orang-orang Percaya.
”Kami turun ke dalam air penuh dengan dosa dan kecemaran, dan kami
keluar dengan membawa buah dalam hati kami, ketakutan dan pengharapan
dalam Yesus di dalam Roh.”1
Yang lebih penting lagi
adalah kenyataan bahwa dalam Didache, sebuah buku pedoman awal tentang
pelayanan Kristen (sekitar tahun 100-110), terdapat ajaran yang terinci
tentang perilaku moral orang yang dibaptis. Ajaran itu menjelaskan bahwa
air yang mengalir harus dipakai; jikalau tidak ada, maka pakailah air
yang tergenang. Jika tidak ada cukup air untuk membenamkan calon yang
akan dibaptis, maka air dituangkan ke atas kepalanya tiga kali dalam
nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Tetapi pembaptisan yang lain daripada
itu tidak disebutkan.
Dengan munculnya
SAKRAMENTALISME, baik Baptisan maupun Perjamuan kudus dinggap sebagai
sarana kasih karunia yang diberikan kepada Gereja. Kalau begitu,
tampaknya logis untuk melaksanakannya. Petunjuk pertama yang tegas
tentang pembaptisan dating dari Tertullianus, pemimpin gereja Afrika Utara (sekitar tahun 200), yang menandaskan bahwa anak-anak
harus datang untuk dibaptis ketika mereka sudah DEWASA supaya mereka
mengerti apa yang sedang mereka lakukan.” Oleh karena itu, sesuai dengan
keadaan dari watak seseorang, dan juga usianya, maka PENUNDAAN baptisan
adalah LEBIH MENGUNTUNGKAN, khususnya dalam hal anak-anak kecil.”2 Keberatannya menunjukkan bahwa pada tahun 200 pembaptisan anak kecil telah dipraktekkan dalam beberapa gereja.
Petunjuk kedua tentang baptisan anak kecil dating dari tulisan-tulisan Origenes,
yang dilahirkan dalam suatu keluarga Kristen di Alexandria, Mesir. Ia
menjadi tenar sebagai guru, kendati pada akhirnya ia terpaksa pindah ke
Palestina oleh karena perlawanan dari uskup Alexandria. Dalam sebuah
tafsiran Injil Lukas, ia menulis bahwa anak-anak kecil dibaptis ”supaya
pencemaran dari kelahiran kita dihapuskan.” Pada hakekatnya ia mengulang
pernyataan yang sama dalam sebuah tafsiran tentang Surat Roma.
Para sarjana
berbeda pendapat mengenai pentingnya bagian-bagian ini. Meskipun
Origenes menulis dalam bahasa Yunani, bagian-bagian ini hanya terdapat
dalam sebuah terjemahan Latin yang dibuat oleh seorang bernama Rufinus,
yang hidup pada periode yang kemudian dan yang terkenal suka
menambah-nambahkan pendapatnya sendiri ke dalam terjemahannya. Ada yang
menduga bahwa ia menambahkan rujukan-rujukan tentang pembaptisan anak
kecil untuk menyelaraskan ajaran Origenes dengan kepercayaan gereja
Latin pada zamannya. Akan tetapi, jika pernyataan-pernyataan Origenes
itu asli, maka itu memberikan kesaksian yang penting tentang fakta
pembaptisan anak kecil dan alasannya dalam gereja pada tahun 240.
Rujukan ketiga terdapat dalam tulisan-tulisan Cyprianus,
juga dari Afrika Utara. Kira-kira pada tahun 251, ia bertanya kepada
para utusan di suatu konsili gereja apakah pada hemat mereka baptisan
harus ditunda sampai pada hari ke-8. ia mencatat bahwa Konsili itu, yang
terdiri dari 66 uskup, mengatakan bahwa baptisan tidak boleh ditunda ”jangan sampai oleh perbuatan itu kita membuka jiwa si anak terhadap risiko kebinasaan kekal.”
Di sini kita memperoleh petunjuk jelas yang menghubungkan baptisan
bahkan terhadap bayi dengan kelahiran baru secara rohani. Dalam sebuah
dokumen yang belakangan, Cyprianus juga menyebutkan bahwa anak-anak
kecil sekalipun harus diberikan Perjamuan kudus juga. Jika, memang
benar, bahwa kasih karunia disalurkan melalui sakramen, maka anak-anak
juga harus menerima berkat ini.
Agustinus
adalah saksi kita yang keempat dari Afrika Utara yang mendukung
pembaptisan anak kecil. Seperti telah kita pelajari, ia mempunyai dampak
yang kuat atas pemikiran gereja Kristen. Ia mengajar bahwa pembaptisan
anak kecil berasal dari zaman para rasul, meskipun ia tidak menyebutkan
nama orang yang mengajarkannya lebih awal dari Cyprianus. Sejalan dengan
teologi wilayah itu, ia juga mengatakan bahwa kebiasaan memberi
perjamuan kudus kepada anak-anak pun dilakukan dengan otoritas para
rasul. Kedua sakramen ini diperlukan bagi keselamatan; oleh karena itu,
kedua-duanya harus diberikan juga termasuk kepada anak-anak. “Apabila
sebagaimana disetujui oleh banyak kesaksian ilahi, keselamatan dan
hidup kekal tak dapat diharapkan oleh siapapun, tanpa baptisan serta
tubuh dan darah Tuhan kita, maka sia-sialah untuk menjanjikannya kepada
siapa pun bahkan kepada anak-anak tanpa kedua sakramen tersebut.“3
Jadi gereja-gereja yang percaya SAKRAMENTALISME, melaksanakan kedua upacara ini untuk anak-anak.
Jewett mengomentari, “Tak pernah terpikirkan oleh seorang pun dalam
gereja zaman dahulu untuk mempertanyakan hak anak-anak menerima Ekaristi
setelah hak untuk mengikutsertakan mereka di dalam gereja telah
ditetapkan.“ Jewett mengatakan, teori bahwa anak kecil harus dibaptis
tapi tidak diberikan komuni,“bertumpu pada perkembangan dogmatik abad
pertengahan dalam gereja Barat yang sama sekali tidak ada sangkut paut
dengan pandangan Injili mengenai sakramen-sakreman itu.“4
Dengan berkembangnya
pembaptisan anak kecil, timbullah gagasan untuk meminta para orang tua
untuk bertindak sebagai orang tua baptis bagi anak yang dibaptis. Tertullianus, yang berbicara menentang pembaptisan anak kecil, mengacu kepada orang tua baptis atau orang tua dari si Anak yang dibaptis sebagai MUDAH
SEKALI membuat Janji-Janji yang GEGABAH ketika mereka mengatakan bahwa
anak itu akan menjadi orang Kristen dalam kehidupannya kelak. ”Siapakah
yang mengetahui apakah hal ini akan terjadi?” ia bertanya.
Jadi, praktek
pembaptisan anak kecil muncul di Afrika Utara kira-kira pada paruhan
akhir dari abad kedua, sebagian besar disebabkan oleh kepercayaan bahwa
pengampunan dosa datang melalui sakramen-sakramen. Sejalan dengan
Sakramentalisme, maka perjamuan kudus juga diberikan kepada anak-anak.
Arti Pembaptisan Anak Kecil Dalam Abad Pertengahan
Setiap orang yang
mengenal sejarah kekristenan mengetahui bahwa gereja mula-mula mengalami
perlawanan yang sengit dari Kerajaan Romawi. Gelombang demi gelombang
penganiayaan menimpa orang percaya. Bukan karena orang-orang Romawi
tidka bertoleransi terhadap agama lain—orang dapat menyembah dewa mana
saja yang ia sukai. Ekslusivisme (paham yang cenderung memisahkan diri
dari masyarakat) kekristenan itulah yang menjengkelkan kaisar-kaisar
Romawi. Orang Kristen dianggap begitu picik pikirannya sehingga mereka
tidak mau berkata, ”Kaisar adalah Tuhan!”
Kaisar Diokletianus
memerintah selama 20 tahun. Sebelum ia wafat, ia melawan orang-orang
Kristen, mengusir mereka dari kerajaan Romawi. Pada tahun 305, ia turun
takhta dan mewariskannya kepada Galerius, yang bahkan lebih bernafsu
melawan orang Kristen. Menjelang kematiannya pada tahun 311, Galerius
menyadari bahwa orang-orang kafir pun merasa muak dengan penganiayaan
yang berdarah itu. Karena mengetahui bahwa masyarakat pada umumnya
memusuhinya, ia mengeluarkan dekrit toleransi, yang sebagian besar
memberikan kelegaan kepada orang-orang Kristen. Setelah ia wafat,
pecahlah perebutan kekuasaan dan Konstantinus maju melintasi pegunungan
Alpen untuk menggulingkan penguasa Romawi Maxentius (yang berharap untuk
menggantikan Galerius) dan merebut kota Roma. Ketika Konstantinus
berhadapan dengan lawannya di jembatan Mivian sedikit di luar kota Roma,
ia meminta pertolongan kepada Allah orang Kristen. Dalam suatu mimpi ia
melihat sebuah salib di langit dengan perkataan, ”Dalam tanda ini
taklukkanlah.” Ketika ia meraih keberhasilan militer pada 28 Oktober
312, ia menganggap kemenangannya sebagai bukti dari kebenaran agama
Kristen. Apakah pertobatannya sungguh-sungguh atau tidak, ia memberikan
kemerdekaan kepada orang-orang Kristen dan akhirnya Kekristenan menjadi
agama resmi kerajaan itu.
Apakah hubungan
semua ini dengan baptisan? Dengan berkuasanya Konstantinus, Kekristenan
tidak lagi merupakan suatu sekte di dalam kerajaan itu, tetapi menjadi
searti dengan kerajaan itu. Sekarang orang akan menjadi Kristen hanya
karena ia lahir dalam kerajaan itu, tidak perlu memiliki iman pribadi
pada Kristus. Pembaptisan anak kecil menjadi mata rantai yang mempersatukan gereja dan negara.
Meskipun pembaptisan
anak kecil dimulai dengan alasan-alasan teologis, yakni, kepercayaan
bahwa upacara itu menghapus pencemaran dosa, sekarang pembaptisan
menjadi suatu aset politik. Setiap anak yang dibaptis menjadi orang
Kristen dan anggota kerajaan Romawi sekaligus. Karena anak-anak kecil
dapat menjadi warga negara kerajaan tanpa keputusan apapun pada pihak
mereka, demikian pulalah mereka dapat menjadi orang Kristen. Pembaptisan
anak kecil menjadi praktik yang hampir universal dalam beberapa dekade.
Agustinus menerima
keyakinan bahwa gereja dan negara harus bersatu, dengan menandaskan (1)
hak gereja untuk menggunakan negara dalam pelaksanaan Kekristenan. Jadi,
“penganut ajaran sesat“ dapat dibunuh dan para pengingkar dibantai; dan
(2) pembaptisan anak kecil diharuskan.
Pembaptisan anak kecil memainkan peranan penting dalam penggabungan gereja dan negara. Itulah sebabnya golongan
Anabaptis (mereka yang telah dibaptis sebagai anak kecil, tetapi
dibaptis ulang sebagai orang dewasa, ketika mereka pribadi menjadi
percaya kepada Kristus) dianiaya dengan begitu kejam. Perselisihannya bukan sekedar teologis, tetapi politis. Pada masanya Raja Karel Agung (dinobatkan pada tahun 800), orang-orang yang dibaptis setelah secara pribadi percaya kepada Kristus dibunuh.
Yang dikhawatirkan adalah jika gereja hanya dianggap sebagai suatu
kelompok dalam masyarakat dan bukan sejajar dengan masyarakat, maka
seluruh kesatuan gereja dan negara akan terpecah-pecah. Pembaptisan anak
kecil adalah ”perekat” yang menyatukan gereja dan negara.
Karl Barth, teolog terkenal dari Swiss, mengakui bahwa motivasi sesungguhnya dibalik Baptisan Anak adalah KONSTANTIN-isme, yakni kesatuan gereja dan Negara.
Ketika berbicara mengenai para Reformator yang berpegang pada Baptisan
Anak Kecil, ia mengatakan, “Orang-orang pada waktu itu tidak mau
melepaskan, karena cinta atau uang, keberadaan gereja Injili dalam
bentuk Corpus Christianum Konstantinian. Ketika gereja menghentikan pembaptisan anak kecil, gereja Rakyat dalam arti gereja Negara atau gereja Massa berakhir.“ Ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa bahkan Luther mengakui tak akan banyak orang yang dibaptis jika seseorang, bukannya dibawa kepada baptisan, tetapi harus datang kepadanya. Barth menjelaskan bahwa Alkitab mengajarkan gereja Kristen merupakan suatu minoritas; bila semua orang diikutsertakan didalamnya, maka akibatnya adalah kesakitan bukan kesehatan. Ia mengakhiri dengan berkata bahwa, ”sudah
saatnya untuk mengumumkan bahwa suatu pencarian yang urgen untuk bentuk
yang lebih baik dari praktik baptisan kita sudah lama
dinanti-nantikan.”5
Para Reformator: Zwingli
Pada mulanya
Ulrich Zwingli, pengkhotbah dan reformator dari Zurich, mempunyai
KERAGUAN YANG SERIUS tentang Pembaptisan Anak Kecil. Ia Mengaku, ”Tak
ada yang lebih menyedihkan saya daripada bahwa saat ini saya harus
membaptiskan anak-anak kecil karena SAYA TAHU HAL ITU SEHARUSNYA TIDAK
DILAKUKAN.”6 Ia menyadari bahwa pembaharuan yang menyeluruh dalam gereja akan berarti menghentikan kebiasaan itu.
Ia mengatakan lagi, ”Saya tidak menyinggung hal baptisan, saya tidak
menyebutnya benar atau salah; jika kita harus membaptis seperti YANG TELAH DITETAPKAN oleh KRISTUS, maka
kita TIDAK AKAN MEMBAPTIS seorang pun sebelum Ia MENCAPAI USIA yang
memperlihatkan kebijaksanaan; karena DIMANAPUN TIDAK TERTULIS bahwa
Pembaptisan Anak Kecil harus dilakukan.”7
Akan tetapi,
Zwingli mengubah pikirannya. Untuk mengerti penyebabnya, kita harus
menyegarkan ingatan kita tentang gerakan Anabaptis yang menyebar k
eseluruh Eropa selama masa Reformasi
Kata Anabaptis dipakai untuk orang-orang yang telah dibaptis sebagai anak kecil, tetapi dibaptis ulang ketika mereka pribadi menjadi percaya kepada Kristus. Para Anabaptis yang pertama adalah kaum Donatis dari abad ke-4 yang menolak untuk percaya bahwa baptisan yang mencakup setiap orang karena alasan kelahiran adalah sah. Mereka
percaya bahwa gereja harus berbeda dari masyarakat dan tidak sejajar
dengannya. Akan tetapi, seperti yang telah kita pelajari, ketika negara
menjadi satu dengan gereja, maka gereja menggunakan kekuasaan negara
untuk melaksanakan agama. Banyak orang Donatis dibunuh karena mereka berpegang pada pembaptisan orang percaya.
Kendati Donatisme
(dinamakan menurut nama pemimpin mereka Donatus), ditindas, visinya
tentang gereja yang terdiri atas orang-orang percaya yang dibaptis tak
pernah padam. Ketika kepercayaan itu muncul beberapa abad kemudian,
tindakan diambil terhadap ”para penganut bidat” yang hendak menggulingkan kebiasaan pembaptisan anak kecil. Ada
banyak catatan tentang orang-orang yang memprotes gereja resmi yang
menyambut semua orang. Para penentang ini ingin kembali kepada Pola Perjanjian Baru dimana gereja terdiri atas orang-orang percaya yang dibaptis. Mereka
percaya bahwa gereja harus menjaga kekudusannya dengan pengabdian penuh
kepada Kristus dan melalui pelaksanaan disiplin gereja. Perilaku mereka
begitu baik sehingga Zwingli berkata tentang mereka, ”Pada
hubungan pertama, kelakuan mereka kelihatan tak ada celanya, saleh,
sederhana, menarik. Bahkan orang-orang yang cenderung mengkritik akan
mengatakan bahwa kehidupan mereka baik sekali.”8
Orang-orang
Kristen ini tidak dapat menerima gagasan bahwa seorang anak kecil dapat
”dibaptis,” yaitu, dijadikan Kristen dengan cara mengambil bagian dalam
suatu upacara agama. Mereka menyebut pembaptisan anak kecil tidak lebih
daripada hanya ”dicelupkan ke dalam pemandian Romawi.” Bagi mereka
kehidupan yang kudus adalah bukti kelahiran baru. Seorang dari aliran yang lain mengatakan bahwa di dalam mereka
”tak ada dusta, tipu muslihat, sumpah serapah, pertikaian, bahasa yang
kasar, tak ada makan dan minum yang melewati batas, tak ada sikap
menonjolkan diri, tetapi sebaliknya yang ada ialah kerendahan hati,
kesabaran, ketulusan, kelemahlembutan, kejujuran, kesederhanaan,
keterusterangan dalam kadar yang sedemikian rupa sehingga orang akan
mengira bahwa mereka memiliki Roh Kudus Allah.”9
Akan tetapi, gereja
resmi, yang terbenam di dalam konstantinisme, menggunakan kekuasaan
negara untuk membunuh ”para penganut ajaran sesat.” dan para Reformator
sendiri menjadi fanatik dalam oposisi mereka terhadap orang-orang
Anabaptis ketika para penentang ini bersikeras untuk memutuskan hubungan
sama sekali dengan gereja resmi kerajaan itu. Dalam persoalan
Pembaptisan Anak Kecil, Luther dan Zwingli berpihak pada Gereja Roma.
Zwingli, misalnya, mengerti apabila ia sampai berpihak pada para
Anabaptis, ia akan membangkitkan ketidaksenangan Negara. Ia berkata, ”Akan
tetapi, jika saya sampai menghentikan praktik itu (Baptisan Bayi/Anak
Kecil), maka saya khawatir saya akan kehilangan gaji tetap saya”10 dari berkhotbah. Tetapi terlebih penting, ia memandang para Anabaptis sebagai pengacau tatanan sosial.
Jadi, ia berbalik
menentang mereka dengan mengatakan bahwa, kendati pada mulanya perlu
untuk menyalahkan pembaptisan anak kecil, waktu sekarang telah berubah;
ia mengaku bahwa ia telah tersesat. Ia juga mempelajari kembali Alkitab
dan menyimpulkan bahwa pembaptisan anak kecil dapat dibenarkan atas
dasar-dasar teologis (nanti kita akan mempertimbangkan
sangahan-sanggahan ini dalam pasal ini).
Dewan kota Zurich
mengatakan padanya bahwa dengan berkhotbah menentang Pembaptisan Anak
Kecil, ”gereja yang kudus, para leluhur, Konsili-konsili, paus, para
kardinal, dan para uskup, dan lain sebagainya, akan menjadi cemoohan
orang, mereka akan diremehkan dan ditiadakan.”11
Apa lagi, konsili selanjutnya mengatakan apabila pembaptisan dibatasi
kepada orang-orang percaya, akan terjadi ”ketidaktaatan terhadap dewan
hakim, perpecahan, ajaran sesat, dan iman Kristen menjadi lebih lemah
dan kecil.”
Jadi, pada tanggal 17 Januari 1525, dewan kota Zurich memberi tahu rakyat bahwa semua orang-tua harus menyerahkan anaknya untuk dibaptis atau mereka akan dibuang. 4 tahun kemudian, dekrit Speier memutuskan, ”Setiap
Anabaptis atau orang yang dibaptis ulang, pria maupun wanita, harus
dibunuh dengan api atau dengan pedang, atau dengan cara lainnya.”12 Anak-anak
dibaptis bertentangan dengan kehendak orang-tuanya. Mereka yang tetap
berpegang pada keyakinannya dan menolak untuk tunduk kepada dewan,
ditenggelamkan atau dihukum mati. Zwingli secara sarkastis membuat pernyataan tentang Felix Manz penganut Anabaptis, ”Jika ia ingin diselamkan dalam air, biarlah ia diselamkan.” Demikianlah,
Manz dengan paksa ditenggelamkan dalam air yang dalam dan dingin di
Sungai Limmat hanya beberapa ratus meter dari gereja Zwingli. Banyak
yang mati dengan mengatakan bahwa Zwingli telah mengkhianati mereka. Ia
telah menjual jiwanya kepada kekristenan yang palsu yang menolak untuk
membedakan antara gereja yang benar dan masyarakat.
Memang mudah
mengkritik Zwingli karena bagi kita perpisahan antara gereja dan negara
dianggap sudah semesetinya. Tetapi Zwingli hidup pada suatu masa di mana
negara bertujuan untuk memastikan bahwa kehendak Allah dilaksanakan
dalam kehidupan orang-orang yang tinggal dalam perbatasannya. Patut
disayangkan bahwa penganiayaan menyebabkan beberapa orang Anabaptis
menjadi fanatik. Orang-orang radikal seperti itu memberikan nama yang
buruk kepada gerakan Anabaptis, yang hanya menyebabkan lebih banyak
penganiayaan. Namun pembunuhan massal para Anabaptis benar-benar adalah salah satu halaman yang TERGELAP dalam sejarah gereja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar